Tak Ada Salahnya Punya Mimpikan?
Hiruk pikuk suasana pagi tak buat Shaluna hentikan langkahnya untuk sampai di sekolah. Meski berkejar-kejaran dengan para insan bumi juga waktu yang silih berlalu dengan terburu-buru. Setidaknya sebelum suara bel sekolah berbunyi tanda sudah waktunya pelajaran dimulai, ia telah sampai. Pelajaran pagi ini cukup membuat pening kepala, bagaimana tidak? masih pagi tapi sudah dapat ekonomi. Tak masalah, apapun itu Shaluna dengan senang hati akan mengikuti setiap ajaran yang gurunya beri.
Ngomong-ngomong, Shaluna anak
perempuan cantiknya ayah dan ibu. Banyak orang bilang ia harapan satu-satunya,
tetapi semesta seolah menolak segala harapan untuknya. Seperti arti namanya,
Shaluna juga punya berjuta mimpi yang ingin ia gapai. Meski jalan yang harus dilalui
lebih sulit daripada teman lainnya. Terlahir dari keluarga kalangan menegah
bawah bukan suatu hal yang mudah. Mimpi yang sedari awal ingin ia gapai tak
ayal hanya impian belaka. Namun Shaluna yakin, selagi ia berusaha pasti akan
ada jalan.
Duduk di bangku kelas akhir, masa dimana putih abunya akan berakhir. Segala usaha Shaluna beri agar hasil terbaik ia dapatkan. Katanya kepada diri sendiri kala itu, seenggaknya kalau aku bukan termasuk cewek cantik dan kaya, tapi aku pintar. Biar engga malu-maluin orang tua, udah cukup orang tua dapat banyak sedihnya.
Meja
belajar, tumpukan buku catatan, jam dinding yang terus berputar, dan pensil entah
sudah lupa dimana tempat asalnya, menjadi bukti bahwa Shaluna bekerja keras
tiap harinya tak kenal lelah seperti orang tuanya yang terus mengajarkan semua
hal baik padanya.
Hari silih berganti, waktu terus
bertambah hingga ujian-ujian akhir pun mulai menghampiri satu per satu. Dirapalkannya
beribu doa kepada Tuhan agar senantiasa dilancarkan dalam mengerjakan setiap ujian
sekolah yang dikerjakannya. Shaluna tau, segala usaha tanpa adanya doa itu suatu
hal yang sia-sia. Bertepatan dengan pengumuman siswa yang berhak ikut dalam
seleksi masuk kuliah berdasarkan prestasi. Harapan Shaluna, ia masuk ke dalam
daftar tersebut, meskipun ia tau mustahil untuknya.
Siapa sangka apa yang ia harapkan
benar adanya. Namanya masuk ke dalam daftar siswa-siswi yang berhak mengikuti
seleksi masuk kuliah berdasarkan prestasi. Dengan perasaan yang begitu bahagia
mengetahuinya, Shaluna ingin segera memberitahukan kepada orang tuanya.
Sesampainya di rumah yang tidak begitu besar tapi mampu memberikan kehangatan pemiliknya,
Shaluna mengatakan kepada orang tuanya,
“ayah, ibu, Luna bisa daftar kuliah lewat jalur prestasi tanpa bayar biaya pendaftaran. Ayah ibu mengizinkan Luna ikut? Luna mau masuk ke UI. Luna mau jadi ahli di bidang hukum” ujar Luna.
Perasaan bangga juga sedih menjadi
satu. Orang tua mana yang tak ingin anaknya berhasil di kemudian hari? tapi apa
buat, lagi-lagi faktor ekonomi menjadi penghalang Shaluna untuk menggapai
mimpinya.
“Luna sayang, maafin ayah sama ibu ya belum bisa izinin Luna buat lanjut sekolah. Meskipun biaya pendaftarannya gratis, tapi biaya setelah masuknya bagaimana? Ayah sama ibu belum cukup uang untuk kuliahin Luna” kata ibu.
Satu dari sekian penolakan yang
Shaluna dapatkan. Ia sebenarnya tau, orang tuanya pasti tidak sanggup. Ia hanya
menjawab dengan anggukan, untuk sekadar mengucap kata, tidak apa-apa ibu, ia
tidak bisa. Karena jauh di lubuk hatinya, ia benar-benar ingin melanjutkan
sekolahnya, ingin menggapai mimpinya. Lantas jika seperti ini, kepada siapa ia taruh
rasa kecewa? kepada Tuhan yang memberinya kehidupan? atau kepada orang tuanya
yang selama ini berusaha mati-matian?
Tidak selamanya dunia akan selalu
menunjukkan keberpihakannya pada Shaluna, tapi nyatanya, dunia memang tidak
pernah berada dipihaknya. Sedari kecil, lara adalah teman dekatnya. Tak
terhitung berapa kali ia terus dikecewakan, diremahkan, dan tertikam bersama
mimpi-mimpinya. Tubuh yang selalu dipaksa kuat, ternyata sama lelahnya dengan
beban yang ia pikul. Mau tidak mau, suka tidak suka, ia harus terima.
Dekap
hangat ibu yang begitu nyaman dan hangat memberi sugesti. Gundah yang dirasakan
perlahan akan hirap bersama dengan hadirnya indurasmi. Membuat Shaluna yakin
semua akan baik-baik saja, ia hanya perlu percaya kepada takdir sang Pencipta.
Sebaik-baiknya pembuat takdir para insan bumi ini. Malam yang sepi menjadi
teman yang senantiasa menemani sedihnya Shaluna. Malam yang tak pernah menuntut
padanya dan malam yang tak pernah ikut meremehkannya.
Enggan
memberikan perasaan sedih ke temannya, Shaluna pendam segala rasa di hatinya. Yang
teman-temannya tau, keluarganya begitu harmonis, keluarga cemara katanya, tapi
memang benar. Banyak dari mereka yang menginginkan keluarga sepertinya, tanpa
mereka tau, Tuhan memberikan kesedihan yang teramat menyakitkan. Tak apa,
selagi ia dan orang tuanya terus bergandeng tangan, suka dan duka akan terus
dilewati bersama.
Di
pagi ini, gurunya bertanya mengenai seleksi waktu itu. Apa ada kendala ketika
mendaftar? Kelu lidahnya untuk menjawab pertanyaan tersebut. Apa memang orang
sepertinya tak diizinkan semesta untuk ambil sedikit dari bahagianya? Tapi
mengapa? Ia juga mau bahagia yang selalu ia dambakan.
Shaluna
selalu ingat, segala ucapan tak pantas kepada dirinya dan orang tuanya. Kata tetangganya
waktu itu, orang sepertinya mana mungkin bisa melanjutkan pendidikan lebih
tinggi, mimpi! Tidak ada yang bisa diharapkan dari orang tuanya, sekadar
membeli makan saja masih kesusahan, lanjut cemooh tetangganya. Ia ingin
membuktikan semua perkataan itu tidak benar.
Tak
ingin ambil pusing dengan perkataan tersebut, Shaluna terus fokus pada dirinya,
pada masa depannya. Berharap siapa tau ada keajaiban yang membuat ia bisa ikut
dalam seleksi tadi. Ingin menjadi sarjana pertama dikeluarganya dan ingin
menjadi bagian dari Universitas Indonesia adalah mimpinya sedari dulu.
Perihal
segala rasa sakit dan sedihnya selama ini. Banyak kasih Shaluna ucap untuk
segala hal yang melingkupi diri dan menjadi pelipur laranya. Harapan demi
harapan agar secercah masa depan yang lebih baik guna mengangkat derajat keluarganya
selalu ia inginkan. Semoga semesta selalu baik padanya, semoga semesta kali ini
berada dipihaknya, semoga.
Ga sengaja liat tulisan ini, kalimat awalnya keren banget. Ditambah penulisannya mirip penulis beneran. Gokssss
BalasHapus